Black Hope

Visualisasi asa di bawah tempurung realita

Kalkulasi waktu dan jarak telah menumbuhkan ladang rindu yang seakan tak berujung. Semakin kuhitung, semakin sesak rasanya. Rindu tumbuh beranak pinak hingga ribuan hektar. Membuatku bingung, kapan harus memanennya, sedang lumbung hati tak muat lagi. Ingin kutitipkan rindu ini pada angin barat, agar tak jenuh dan membusuk di dalam kerangka rapuhku. Tapi sepertinya angin telah bosan menyampaikan salam yang sama setiap hari

Aku telah kenyang akan rindu. Kenyang yang lalu menghadirkan kantuk yang merayap, membuatku ingin lelap. Tapi setidaknya, tidur bisa memampatkan waktu. Seakan bumi berotasi lebih cepat. Dan aku akan selalu bahagia bersama laju waktu, karena dengan begitu, kita akan bertemu dengan segera.

Lalu kucoba untuk menghitung lagi bentangan waktu dan jarak. Ah, tak terhitung. Entah terlalu banyak, atau aku yang memang tidak bisa menghitung. Kalau saja setiap aku menoleh, di situ ada senyum manis yang selalu terhias di wajahmu, tak perlu lagi kusisihkan tempat sebegitu besarnya di hati hanya untuk menampung rindu, menyeberangi batas jangkauan manusia.

Pernah aku mencukiti semua ingatanku tentangmu. Kujabarkan di atas dipan panjang. Kuruntut dan kubaca. Hasilnya? Aku semakin dan semakin rindu.

Sudah terbayang nanti, jika kita bertatap, ketika aku pulang ke hadapmu dengan mengantongi rindu-rindu yang sempat tercecer sepanjang Jogja-Bintaro. Yang pertama kali akan kulakukan adalah duduk diam di berandamu, memandangimu sampai lumbung rinduku habis dimakan hama. Sssttt! Aku tak mau kau menceritakan apapun. Biar kubaca sendiri kisah rasa yang tertulis di matamu. Tenang saja, aku tak akan pernah jenuh. Karena aku sudah terbiasa dengan rasa yang satu itu. Selama kau jauh, aku telah dengan pasrah bersahabat dengan jenuh.

Ah, berandai membuatku semakin candu akanmu. Rindu telah menjajahku tanpa ampun. Bahkan saat bulan dan gemintang mampir pada malam yang sesekali mendung. Jikalau saja kau tahu aku ditemani sepi, aku yakin kau dengan segera kan memelukku. Biar sepi yang jahat lekas pergi mencari hati lain untuk dijajah. Sayangnya kau tak bisa datang untuk memelukku. Mungkin nanti. Semoga!

Maaf atas egoku yang membentang, yang tega memaksaku melangkah ke arah senja, tanpa menghiraukanmu yang sendirian. Kini, aku di sini, tempat di mana aku bermimpi bersama peradaban datar yang akan terus telurang lagi dalam beberapa tahun ini, dalam himpitan kepentingan yang berbaris rapi. Satu, dua, tiga, blablabla lengkap. Di sini aku menekuri sebuah aroma yang asing, yang tak bisa kita tebak apa isinya. Apapun itu, tetap pelihara sabarmu. Karena hanya dengan itu aku punya alasan untuk kembali membaca rasamu. Karena hanya dengan itu, aku bisa menelan habis rindu yang telah menjajahku. Karena hanya dengan itu, aku bisa merasa bahwa ada cinta, ada sayang, antara kita.

Dari Senja untuk Pagi.

0 komentar:

Posting Komentar

About this blog

Nama lengkap saya Heru Irfanto. Biasa dipanggil Heru, Shigeru Hirano, ato Jeruk.
Saya keturunan asli Daerah Istimewa Yogyakarta. Tapi saat ini saya sedang mengembara ke barat (Bintaro) untuk kuliah di STAN.

Lebih jauh tentang saya bisa dilihat di :
facebook
plurk
google
twitter